Selasa, 11 Januari 2011

panca yadnya


Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa menyatukan seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar.Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang saat ini Negara Cina. Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada.

Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama Hindu sangat pesat termasuk di Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit sebagian besar hijrah ke Bali dan di Daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang.Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana. Arti kata Tri Hita Karana yakni Tiga keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan, diantaranya:
  1. Parhyangan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan
  2. Pawongan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia
  3. Palemahan, hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam

Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan Tatwa (aturan/kitab suci), Susila (kebiasaan) dan Upacara. dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya.Panca Yadnya menurut ajaran agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
    Sahayajñáh prajah strishtva
    puro vácha prajápatih
    anena prasavishya dhvam
    esha va stv ishta kámadhuk (Bh. G. III.10)

    Dahulu kala Hyang Widhi (Prajapati), menciptakan manusia dengan jalan yadnya, dan bersabda: "dengan ini (yadnya) engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan (kamadhuk) sesuai dengan keinginanmu".
    Deván bhávayatá nena
    te devá bhávayantuvah
    parasparambhávayantah
    sreyah param avápsyatha. (Bh. G. III.11)

    Dengan ini (yadnya), kami berbakti kepada Hyang Widhi dan dengan ini pula Hyang Widhi memelihara dan mengasihi kamu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Tanpa penciptaan melalui yadnya-Nya Hyang Widhi maka alam semesta berserta segala isinya ini, termasuk pula manusia tidak mungkin ada. Hyang Widhilah yang pertama kali beryadnya menciptakan dunia dengan segala isinya ini dengan segala cinta kasih-Nya. Karena inilah pelaksanaan yadnya di dalam kehidupan ini sangat penting artinya dan   merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia di dunia. Karena itu pula kita dituntut untuk mengerti, memahami dan melaksanakan yadnya tersebut di dalam realitas hidup sehari-hari sebagai salah satu amalan ajaran agama yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

I.2 Rumusan masalah
A. Makna dan Tujuan Yadnya?
B. Jenis-Jenis dan Tingkatan Pelaksanaan Yadnya?
C. Hubungan yadnya dengan Tri Guna?

I.3 Tujuan Penulisan
A. Penulis ingin mengetahui makna dan tujuan yadnya.
B. Penulis ingin mengetahui jenis-jenis dan tingkatan pelaksanaan yadnya.
C. Penulis ingin mengetahui hubungan yadnya dengan tri guna.

I.4. Sistematika Penulisan
Dalam penyelesaian penyusunan makalah ini penulis menggunakan study kepustakaan, yaitu penulis mencari buku-buku yang berhubungan dengan Yadnya.


Bab II Pengertian Yadnya

Jika ditinjau secara ethimologinya, kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "yaj" yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh penghormatan), yajus (sakral, retus, agama) dan yajna (pemujaan, doa persembahan) yang kesemuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.

         Yadnya (yajna) dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi yang telah menciptalan alam semesta dengan segala isinya dengan yadnya-Nya. Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus iklas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

          Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus iklas dengan tanpa pamerih. Kita beryadnya, karena kita sadar bahwa Hyang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan yadnyanya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta berserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan mahluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi mahluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.
 Agnim ile purohitam yajnasya devam rtvijam,
 hotaram ratna dhatanam (R.V.I.1.1)

    Hamba menuja Agni, pendeta agung upacara yadnya, yang suci, penganugrah, yang menyampaikan persembahan (kepada para Dewa), dan pemilik kekayaan yang melimpah.

    Ishtân bhogaân hi vo devâ
    dâsyante yahjna bhâvitâh
    tair dattân apradâyai byo
    yo bhunkte stena eva sah. (Bh. G.III.12)

    Sebab dengan yadnyamu (pujaanmu) Hyang Widhi (dewata) akan memberkahi kebahagiaan bagimy, dia yang tidak membalas rakhmat ini kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.

    Yâjna sishtâsinah santo
    muchyante sarva kilbishaih
    bhunjate te ty agham pâpâ
    ye paehamty atma karanat. (Bh. G.III.13)

    Yang baik makan setelah upacara bakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini, sesungguhnya makan dosa.

         Sesorang hendaknya menyadari , bahwa sesuatu yang dimakan, dipakai maupun yang digunakan dalam hidup ini pada hakikatnya adalah karunia Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Berdosalah ia yang hanya suka menerima namun tidak mau memberi. Setiap orang ingin terlepas dari segala dosa, maka itu setiap orang patut beryadnya. Dengan yadnya, Hyang Widhi akan memberkahi kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dia yang tidak beryadnya, yang tidak membalas rahmat yang ia terima sebagaimana yadnya dan anugrah yang diberikan oleh Hyang Widhi, sesungguhnya ia itu adalah pencuri.
 Jadi dengan memperhatikan beberapa sloka di atas, maka jelaslah bahwa yadnya adalah suatu amal ibadah agama yang hukumnya adalah wajib atau setidak-tidaknya dianjurkan untuk dilaksanakan oleh umat manusia yang iman terhadap Hyang Widhi. Seseorang hendaknya mengabdikan diri kepada-Nya dengan penuh kesujudan dan rasa bakti dengan mengadakan pemujaan dan persembahan yang dilakukan secara tulus iklas.

    Patram pushpam phalam toyam
    yo me bhaktya prayachchati
    tad aham bhaaktypahritam
    asnami prayatatmanah. (Bh. G.IX.26)
          Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.

          Biasanya pemujaan dan persembahan itu dapat dilakukan dalam bentuk upacara yadnya, yaitu persembahan berupa banten atau sajen-sajen, yang terdiri dari bahan-bahan seperti bunga, daun-daun, air dan buah-buahan. Semuanya ini adalah persembahan yang bersifat simbolik. Yang terutama adalah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam keseimbangan tertuju kepada Hyang Widhi.

    Ye yatha mam prapadyante
    tams tathai va bhajamy aham
    mama vartma nurvartante
    manushyah partha sarvatah (Bh. G. IV.11)

    Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh Parta.

         Hyang Widhi akan menemui setiap orang yang mengharapkan karunia daripada-Nya. Hyang Widhi tidak menghapus harapan setiap orang yang melaksanakan yadnya menurut cara dan kepercayaannya masing-masing. Disini tidak harus satu cara atau jalan tertentu untuk mencapai hubungan dengan Hyang Widhi, sebab semuanya menuju kepada-Nya. Didalam pelaksanaan upacara yadnya, hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, kala, Patra. Desa adalah menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia ditempat yang bersangkutan, di tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan, karena biasanya antara tempat yang satu dengan tempat yang yang lainnya mempunyai cara-cara yang berbeda. Kala adalah penyesuaian terhadap waktu untuk beryadnya, atau kesempatan di dalam pembuatan dan pelasksanaan yadnya tersebut. Sedangkan Patra adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan di dalam melakukan yadnya. Orang tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau yang kecil. Yang penting disini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak mengurangi tujuan yadnya itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi, karena di dalam bakti inilah letak nilai-nilai dari pada yadnya tersebut.









 Bab III jenis-jenis dan tingkatan pelaksanaan yadnya


III.1 Jenis-Jenis Pelaksanaan Yadnya

Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :
  1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa.
  2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam.
  3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
  4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
  5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat Hindu.

kegiatan Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang yang mesti dibayar sehubungan dengan keberadaan kita. adapun tri rana tersebut adalah
  1. Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai para dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap mahluk.
  2. Pitra Rna, hutang kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran kita serta perhatiannya semasahidup.
  3. Rsi Rna, hutang kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas bimbingannya selama ini.
hutang – hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang kemudian diaplikasikan dengan Panca Yadnya. adapun cara pembayaran tersebut adalah:
  1. Dewa Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
  2. Pitra Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
  3. Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya.

Sesuai dengan agama dan tradisi di Bali, masyarakat Bali Hindu sesungguhnya manusia yang penuh ritual agama yang terbungkus dalam Panca Yadnya. Ritual agama itu dilakukan terhadap manusia Bali Hindu dari sejak dalam kandungan, dari lahir sampai menginjak dewasa, dari dewasa sampai mulih ke tanah wayah (meninggal).

Pemberkahan demi pemberkahan dilakukan untuknya dengan segala bebantenan serta mantra-mantranya agar munusia Bali Hindu itu menjadi manusia yang berbudi luhur atau memiliki sifat kedewataan di mayapada ini dan bisa amoring acintya dengan Sanghyang Widhi di alam vaikunta (alam keheningan).

Inilah daftar ritual agama yang dilakukan manusia Bali Hindu sesuai dengan tradisi di Bali:
  1. Pegedong-gedongan - dilakukan saat kehamilan berumur 175 hari ( 6 bulan kalender). Upacara pertama sejak tercipta sebagai manusia.
  2. Bayi Lahir - upacara angayu bagia atas kelahiran. Perawatan terhadap ari-ari si bayi.
  3. Kepus Puser - bayi mulai diasuh Hyang Kumara.
  4. Ngelepas Hawon - dilaksanakan pada bayi berumur 12 hari.
  5. Kambuhan - upacara bulan pitung dina (42 hari), perkenalan pertama memasukkan tempat suci pemrajan.
  6. Nelu Bulanin/Nyambutin - upacara tiga bulanan (105 hari), penekanannya agar jiwatma sang bayi benar-benar berada pada raganya.
  7. Otonan (Oton Tuwun) - upacara saat pertama bayi menginjakan kakinya pada Ibu Pertiwi (210 hari).
  8. Tumbuh Gigi - mohon berkah agar gigi si bayi tumbuh dengan baik.
  9. Meketus - si anak sudah tidak lagi diasuh Hyang Kumara (tidak lagi mebanten di pelangkiran Hyang Kumara)
  10. Munggah Daha / raja sewala - upacara menginjak dewasa, saat-saat merasakan getaran asmara.
  11. Potong Gigi/metatah - simbolis pengendalian Sad Ripu.
  12. Mawinten - mohon waranugraha utk mempelajari ilmu pengetahuan.
  13. Upacara Perkawinan - (a) medengen-dengenan (mekala-kalaan), (b) natab.
  14. Upacara Ngaben/Palebon - pengembalian panca mahabuta.
  15. Upacara Nyekah/Malagia - Atma Wedana yang dilanjutkan dengan ngelingihin Betara Hyang di pemrajan.
  16. Upacara Piodalan dan Pecaruan – memohon ketentraman alam

Semua upacara di atas disertai dengan bebantenan sesuai dengan fungsi atau peruntukannya. Daftar ritual agama di atas menunjukkan bahwa manusia Bali Hindu secara tradasi penuh dengan ritual agama. Seolah-olah tiada hidup tanpa ritual agama baik pada dunia maya ini maupun pada dunia akhirat (sekala dan niskala).

Jika semua upacara itu bisa diterapkan sesuai dengan aturannya, maka manusia Bali diharapkan menjadi manusia yang memiliki sifat yang mengarah kesifat kedewataan, pergerakan perilaku dari tamasik- rajasik mengarah ke rajasik-satwika atau bahkan pada satwika. Perputaran perilaku itu dapat dihasilkan dari begitu dalam makna tahap demi tahap ritual agama itu utk menghantarkan menjadi manusia yang bersifat rajasik-satwika atau satwika dari getaran-getaran energi positif getaran bebantenan dan mantra-mantranya secara sinergistik.















III.2 Tingkatan-Tingkatan Yadnya

            Tingkatan Yadnya didasari oleh besar kecilnya upakara yang dipersembahkan dan dibedakan menjadi tiga tingkatan,yaitu :
-          Nista
-          Madya
-          Utama
Masing-masing dari ketiga tingkatan diatas dapat dibedakan dalam tiga tingkatan lagi berdasarkan dari besar kecilnya upakara yang menjadi sarana persembahannya, yaitu :
-          Nistaning Nista
-          Nistaning Madya
-          Nistaning Utama
-          Madyaning Nista
-          Madyaning Madya
-          Madyaning  Utama
-          Utamaning Nista
-          Utamaning Madya
-          Utamaning Utama

Perbedaan tingkatan yadnya ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan umat yang akan melaksanakan karena tujuan yadnya yang menuju kesejahtraan dan kebahagian tidak memberiikan penderitaan bagi umat.Dan dari segi kualitas kesembilan tingkatan yadnya tersebut tidaklah ada perbedaan sepanjang dilaksanakan dengan rasa bakti,ketulusan dan kesucian hati.
























Bab IV Hubungan Yadnya Dengan Tri Guna

           
Dilihat dari segi kualitas tri guna yang melatar belakangi pelaksanaan yadnya, Bhagawadgita membedakan tiga jenis yadnya, yaitu :
-          Sattwika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan dengan keiklasan tanpa mengharapkan hasilnya dan dilaksanakan sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan, serta sesuai dengan sastranya.

Aphalakanksibhir yajno vidhi-drsto ya ijyate,
Yastavyam eveti manah samadhaya sa sattvikah
                    (bhagawadgita.XVII.11)
Artinya :
Yadnya yang dihaturkan sesuai dengan sastranya, oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya dan teguh kepercayaannya, bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryadnya, adalah satwika(baik)

-          Rajasika Yadnya
Adalah yadnya yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.

Abhisandhaya tu phalam dambhartham api caiva yat,
Ijyate bharata-srestha tam yajnam vidhi rajasam
                    (bhagawadgita. XVII.12)
Artinya :
Akan tetapi apa yang dihaturkan degan pengharapan akan buahnya atau hanya untuk memamerkan, ketahuilah oh arjuna, bahwa yadnya itu adalah rajasika(bernafsu).

-          Tamasika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya, tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada daksina, serta tidak dilandasi keyakinan dan kepercayaan.

Vidhi-hinam asrstannam mantram-hinam adaksinam,
Sraddha-vivirahitam yajnam tamasam paricaksate.
                    (bhagawadgita, XVII.13)
Artinya:
Yadnya yang tidak sesuai degan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan dan tidak ada punia daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka sebut yadnya yang tamasika(bodoh).

Dengan demikian tinkat kualitas yadnya dibedakan atas dasar pengaruh tri guna yang memberi motivasi dalam pelaksanaannya.Dalam tingkatan ini besar kecilnya tingkatan yadnya tidak menjadi ukuran, namun tingkat spiritual suatu persembahan/yadnya lebih ditentukan oleh sradha, bakti, keimanan, keiklasan serta jauh dari rasa ego.
Bab V Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

            Panca yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas yang didasari atas rasa bhakti dan kasih sayang serta tanpa pamrih.Yadnya memiliki lima pembagian (panca yadnya), yaitu dewa yadnya, manusa yadnya, butha yadnya, pitra yadnya dan rsi yadnya.Pelaksanaan yadnya ini bukan ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun oleh tri guna.Karena bagaimanapun besarnya sebuah upacara, jika tanpa didasari oleh ketulusan, iklas,bhakti, kasih sayang dan tanpa pamrih(phala). Upacara tersebut tidak akan menjadi sempurna (kurang bermakna).

Saran

          Berdasarkan uraian diatas hendaknya kita menyadari bahwa nilai sebuah yadnya bukan ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun bagaimana cara kita belajar untuk iklas, tulus, penuh kasih sayang dan didasari oleh hati yang suci nirmala dalam melaksanakan sebuah pengorbanan (yadnya).